Radio antara Nostalgia dan Kehampaan di Zaman Ini
Malam yang dingin, hujan pun turun lagi. Airnya membasahi genting-genting, pohon-pohon, jalanan, dan tentunya atap mobil yang kita pakai untuk ke restoran. Sungguh, hatiku jadi tak karuan ketika berada di samping dirimu. Namun masih untung, mataku masih fokus untuk melihat jalan yang kita lalui.
Setelah sampai di restoran, hujan masih turun di luaran sana. Kita langsung saja duduk di meja nomor 3A.
"Kamu, mau makan apa?" tanyamu kepadaku.
"Terserah kamu saja," jawabku sambil melihat kedua bola matamu.
Setelah menunggu lima belas menit, makanan yang kita pesan pun jadi. Pelayan itu menyiapkannya di meja yang kita tempati, sedangkan perhatianku terus tertuju kepada indahnya matamu.
"Ini makanannya sudah jadi!"
Kamu berhasil membuat aku terkejut.
"Oh, ya?"
"Nih!"
Mataku melihat di meja itu ada piring, sendok, garpu, gelas, dan tak lupa juga makanan yang tadi dipesan. Sungguh lengkap, kataku. Kamu pun tersenyum lalu langsung mengajakku untuk makan.
Sewaktu kamu makan, pertanyaan-pertanyaan pun sering aku lontarkan kepadamu. Sampai, kamu terlihat lupa tentang rasa sakit. Ya, tentang sakit yang mungkin sering kamu dapatkan dari seorang lelaki pengkhianat. Aku pun terus bertanya-tanya sambil memegang sendok dan malam ini banyak yang aku ketahui tentang dirimu.
Setelah puas bertanya-tanya, aku izin ke toilet sebentar. Mungkin saja hanya beberapa menit. Tangan kananku pun masih memegang sendok. Dan dengan rasa masih was-was sekalian saja aku bersihkan sendok yang berlumuran darah segar itu. Kemudian, langsung keluar toilet lagi dan menuntun kamu untuk pulang ke rumah. Namun pas aku tuntun, banyak orang yang tak sanggup menatap wajahmu dengan lama. Sampai, ada seorang pelayan yang berteriak, "Ini mata siapa yang jatuh ke lantai?!"[]
2021
Komentar
Posting Komentar