Radio antara Nostalgia dan Kehampaan di Zaman Ini
![]() |
| Ilustrasi | Pexels.com |
Tatkala pagi mau menyerang jiwa, aku bersembunyi di balik hati yang penuh luka ini. Aku merasa sakit jikalau tidak pernah mendengar kembali suaramu. Aku merasa rindu yang amat bilamana tak tahu kabar darimu.
Apakah harus kukirimkan burung pembawa pesan ke jendela kamarmu dengan tulisan, hei aku rindu dan ingin sekali mengobrol denganmu walaupun hanya persoalan kabar saja! Namun, aku malu, ya, malulah yang menggerogoti tubuh ini saban harinya.
Bolehkah kukirimkan doa-doa terbaik untukmu ataupun mantra yang paling indah untuk hidupmu? Bolehkah? Jikalau boleh, ingin sekali mengungkapkan semua perasaan yang ada di dalam hati ini tentangmu; cantikmu; keindahan dirimu yang senantiasa ada di dalam benak ini.
Hei, aku masih di sini! Menatap indah foto yang pernah kau kirimkan sewaktu dulu, aku lihat lalu membayangkan perjalanan semua yang telah kita lewati. Namun, mungkin saja kau tak akan pernah mau mengingat kembali perjalanan itu. Hmm. Aku pun harus bagaimana?
Di antara pagi yang beranjak naik, aku duduk di halaman rumah sambil sesekali melihat fotomu yang tersimpan rapi di sini. Dalam bayang-bayang yang sunyi, aku ingin sekali memandangmu sambil menyanyikan lagu kemesraan yang mungkin saja akan menusuk hatiku.
Namun, semua hal itu seperti hitungan matematika yang sulit aku pecahkan sehingga keinginan itu hanya bisa membeku saja di dalam hati. Apa mungkin hal semacam itu bisa dikatakan suka ataupun cinta yang amat dalam?
Pertanyaan semacam itu pun bak busur panah yang ingin sekali melesat lalu menghujam targetnya. Kemudian, aku terdiam di sudut enam dari rumah yang tampak indah ini, aku perlahan mencoba untuk menuliskan keindahan dirimu lewat bait-bait puisi yang mungkin saja bisa masuk ke dalam hatimu.
Di sini, apa mungkin kita bisa seperti dulu lagi? Bercerita ataupun saling bercerita untuk menciptakan suasana yang begitu indah, apakah mungkin hal semacam itu bisa terwujudkan lagi?
Perjalanan pun terus aku tapaki dengan harapan yang sudah lemah akan hadirmu. Izinkanlah kusebut namamu dalam doa di sepertiga malam. Aku rindu. Aku ingin .... Aku ingin bertemu untuk memandang keindahan wanita yang amat kusayangi ini.
Perlahan-lahan, aku menuliskan kembali soal rasa di sini; di kertas yang sudah lapuk dengan pensil seadanya. Kemudian, kugambarkan bayangan wajahmu yang teringat di dalam pikiran. Aku kacau ketika satu per satu bagian wajahmu tergambar. Aku mengerutkan kening lalu berkata, apakah seperti ini yang dinamakan rindu?
Perjalananku seperti burung yang terbang memutari rumahmu, ya, untuk mencari dirimu yang mungkin saja bersembunyi di balik jendela kamar ataupun di tempat lainnya. Aku cari. Aku cari dan ingin sekali memandang wajahmu yang amat cantik itu. Aku ingin!
Aku berteriak, tolong ... tolong ...! Tolonglah aku agar bisa berbicara lagi kepadamu secara empat mata! Kemudian, akan kukeluarkan semua kata yang ada di dalam hati ini agar kau tahu betapa rindunya diri ini kepadamu! Hmm. Izinkanlah ...!
Tak ada kisah maupun cerita selain menuliskan keindahan dirimu yang terbayang di dalam kepala. Kau. Ya, kau ibarat bidadari yang turun dari langit, tapi aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan saja. Aku pengecut. Aku pengecut karena tak mampu untuk mendapatkan dirimu agar bisa bersemayam di dalam hati ini!
Apakah salah kalau aku selalu melangitkan namamu? Di kala kerinduan ini memuncak, aku tuliskan banyak lembaran tentangmu; puisi; prosa dan tulisan-tulisan sederhana yang tertaut dalam pikiran. Kemudian, apakah kau akan paham jikalau berani untuk membacanya? Entahlah!(*)
2025
Komentar
Posting Komentar