Radio antara Nostalgia dan Kehampaan di Zaman Ini
Di tempat ini, aku melepaskan semua kata-kata yang ada di dalam hati bak burung-burung yang keluar dari dalam sangkar. Aku menikmati kembali panorama yang indah Ciremai di balik-balik kesedihan ini.
Apa mungkin aku merasakan hal-hal yang di luar nalar? Mengingatmu! Membayangkan dirimu! Merasakan getar cinta untukmu! Dalam bait-bait yang terucap, aku sering berkata seperti itu hingga semua rasa itu malah muncul kembali tertuju padamu.
Aku menikmati indahnya Ciremai, tapi aku pun merasakan kegagalan dalam hidup ini; mendapatkan dirimu yang paling aku cintai. Hmm. Aku kalah! Kalah dengan semua yang ada di dunia ini!
Perjalanan ini bak seperti dongeng yang tidak indah di akhir cerita. Aku harus bagaimana? Apakah harus pergi ke puncak Ciremai lalu berteriak memanggil namamu?
Hati ini terasa hampa tak ada alunan cinta yang bergelayut manja ataupun suara-suara syahdu yang merasuki hati. Aku termenung sewaktu pagi tiba, sedangkan Ciremai tampak gagah seperti ingin menunjukkan bahwa hidup itu harus perkasa dan percaya diri.
Entah karena apa angin di pagi ini terasa masuk ke celah-celah kemeja yang kupakai, aku terlena duhai wanita yang ada di dalam pikiran ini. Aku pun sulit untuk melangkah jauh bilamana mendapatkan dirimu itu terasa rumit.
Dalam kegamangan hati yang terus menggerus tubuh, aku menghela napas panjang lalu mengeluarkannya secara perlahan-lahan. Tak ada keindahan selain dirimu, kataku pelan dengan iringan degup jantung yang semakin kencang.
Kemudian, kupandangi kembali Ciremai yang indah di sana agar bisa menyegarkan isi hati dan pikiran ini! Sungguh, ya, sungguh gunung itu yang setidaknya bisa kulihat di pagi ini, panorama bak menyempitkan hati yang tertuju terus kepadamu!
Aku harus bagaimana? Pertanyaan semacam itu pun selalu muncul dan aku belum mampu untuk menjawabnya dengan hati terbuka. Aku harus bagaimana? Tolonglah! Aku pun harus bagaimana?
Beberapa kata telah aku rangkai menjadikan sebuah sajak indah di pagi hari, tapi masih saja terasa hampa tanpa kehadiranmu yang ada di sini. Aku terdiam. Aku menatap foto terakhir yang kau kirimkan ketika dulu. Aku mengingat!
Sayup-sayup terdengar dari angin yang menggoyangkan tanaman di pinggir jalan pedesaan ini. Cukup indah. Ya, cukup indah bak goresan lukisan yang pernah aku lukis di kanvas kosong dekatmu dulu.
Namun, aku merasa lemah di kala semua bayanganmu itu muncul: di dalam pikiran, di depan mata, dan di mana-mana ketika aku berjalan.
Aku ingin sekali bertemu dan membacakan sajak yang indah untukmu. Aku ingin sekali memandangmu dengan iringan lagu kemesraan yang menyelimuti kalbu.
Aku ingin. Ya, aku ingin bersamamu menciptakan lukisan yang nyata untuk kehidupan ini; keindahan; penuh cinta; kebahagiaan. Namun, aku hanya bisa berharap di waktu ini karena kau pun mulai menjauh bak semuanya tak ingin mengenalku lagi!(*)
2025
Komentar
Posting Komentar